Jumat, 05 Juli 2013

visitasi mapenda bojonegoro

Assalamu'alaikum.

ALhamdulillah puji syukur kami haturkan kepada Allah subhanahu wata'ala yang telah mencurahkan rahmad taufiq fadholnya kepada segenap pengurus yayasan dan sekolah MTs. NURUL HASAN. tak lupa sholawat salam bi qoulina Allahumma sholli 'ala saiyyidina muhammad. semoga syafaat kanjeng rasul berikan kepada kita semua mulai dunia sampai akhirat nanti

alhamdulillah pada tanggal 23 april 2013 visitasi dari mapenda bojonegoro telah memberi secercah harapan yang besar kepada para pendiri sekolah, visitasi ini adalah bukti atas dukungan dari mapenda bojonegoro atas berdirinya madrasah tsanawiyah Nurul Hasan di bawah payung hukum yayasan pendidikan islam nurul hasan adalah dukungan dan keseriusan dari pihak mapenda merestui usaha kami,

terim kasih tak terhingga kami haturkan kepada segenap pihak yang telah membantu berdirinya MTs. NURUL HASAN ini

Wassalam


Kamis, 04 Juli 2013

mencium tangan kyai

Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara yang mustahabb (sunnah) yang disukai Allah, berdasarkan hadits-hadits Nabi dan dan atsar para sahabat.

Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya: bahwa ada dua orang Yahudi bersepakat “Mari kita pergi menghadap Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa. Maksud dua orang ini adalah ingin mencari kelemahan Nabi karena diaummi (karenanya mereka menganggapnya tidak mengetahui sembilan ayat tersebut) , maka tatkala Nabi menjelasan kepada keduanya (tentang sembilan ayat tersebut) keduanya terkejut dan langsung mencium kedua tangan Nabi dan kakinya. Imam at–Tarmidzi berkomentar tentang hadits ini: ” hasan sahih “.

Abu asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik -semoga Allah meridlainya- dia berkata: “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya” .

 Imam al Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al Adab al Mufrad bahwa Ali bin Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- telah mencium tangan Abbas dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi derajatnya daripada ‘Abbas namun karena ‘Abbas adalah pamannya dan orang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya.

 Demikian juga dengan ‘Abdullah ibnu ‘Abbas -semoga Allah meridlainya- yang termasuk kalangan sahabat yang kecil ketika Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam mwninggal. Dia pergi kepada sebagian sahabat untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid bin Tsabit yang merupakan sahabat yang paling banyak menulis wahyu, ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu ‘Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid meletakan kaki di atas hewan tunggangannya. Lalu Zaid bin Tsabit-pun mencium tangan ‘Abdullah bin ‘Abbas karena dia termasuk keluarga Rasulullahshallallahu ‘alayhi wasallam sambil mengatakan: “Demikianlah kami memperlakukan keluarga Rasulullahshallallahu ‘alayhi wasallam“. Padahal Zaid bin Tsabit lebih tua dari ‘Abdullah bin ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al Hafizh Abu Bakar bin al Muqri pada Juz Taqbil al Yad.

 Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Thabaqaat dari ‘Abdurrahman bin Zaid al ‘Iraqi, ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah bin al Akwa’ di ar-Rabdzah lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta lalu dia berkata : “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, lalu kami meraih tangannya dan menciumnya “.

 Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa Imam Muslim mencium tangan Imam al Bukhari dan berkata kepadanya: 

ولو أذنت لي لقبلت رجلك 
“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda”.

Dalam kitab at-Talkhish al Habir karangan al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani disebutkan: ” Dalam masalah mencium tangan ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar bin al Muqri, kami mengumpulkannya dalam satu juz, di antaranya hadits Ibnu Umar dalam suatu kisah beliau berkata:

فدنونا من التبي صلى الله عليه وسلم فقبلنا يده ورجله (رواه أبو داود)  
“Maka kami mendekat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam lalu kami cium tangan dan kakinya”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Di antaranya juga hadits Shafwan bin ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Lanjutan hadits ini:

فقبلا يده ورجله وقالا: نشـهد أنك نبي 
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (yang empat) dengan sanad yang kuat.
Juga hadits az-Zari’ bahwa ia termasuk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata:
فجعلنا نتبادر من رواحلنا فنقبل يد النبي صلى الله عليه وسلم  
“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam ”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.

Dalam hadits tentang peristiwa al Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa ‘Aisyah berzina) dari ‘Aisyah, ia berkata : Abu Bakar berkata kepadaku :
قومي فقبلي رأسه  
“Berdirilah dan cium kepalanya (Nabi)”.

Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa-i) dari ‘Aisyah ia berkata:
ما رأيت أحدا كان أشبه سمتا وهديا ودلا برسول الله من فاطمة، وكان إذا دخلت عليه قام إليها فأخذ بيدها فقبلها وأجلسها في مجلسه ، وكانت إذا دخل عليها قامت إليه فأخذت بيده فقبلته، وأجلسته في مجلسها  
“Aku tidak pernah melihat seorangpun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangannya kemudian menciumnya dan membawanya duduk di tempat duduk beliau, dan apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian menciumnya, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.

Demikian penjelasan al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab at-Talkhish al Habir .
Dalam hadits yang terakhir disebutkan juga terdapat dalil kebolehan berdiri untuk menyembut orang yang masuk datang ke suatu tempat jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk bersombong diri dan menampakkan keangkuhan.

Sedangkan hadits riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat jika mereka melihat Nabi mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Nabi tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Karena Rasulullah tidak menyukai hal itu sebab takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Jadi beliau tidak menyukainya karena menginginkan keringanan bagi ummatnya dan sudah maklum bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda :
” من أحب أن يتمثل له الرجال قياما فليتبوأ مقعده من النار” 
Berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majlis lalu raja mereka masuk mereka berdiri untuk raja mereka dengan Tamatstsul ; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majlis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.

Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wasallammenarik tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits.
Sungguh aneh orang yang menyebutkan hadits tersebut dengan tujuan menjelekkan mencium tangan, bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits sahih yang membolehkan mencium tangan dan berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya

niat, hati dan istiqomah

Dalam pertanyaan ini setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita cermati,..

Yang pertama adalah hubungan antara hati dan niat..

Secara singkat, niat adalah salah satu bentuk keinginan yang datangya dari hati, dan hal ini sangat dipengaruhi oleh pikiran seseorang, yang juga dipengaruhi oleh ilmu seseorang..

Ilustrasinya...

Seorang ibu di datangi oleh seorang sales yang menawarkan kompor..

Pada tahapan yang pertama, Ibu tersebut belum tertarik atau berniat untuk membeli kompor tersebut..

Tetapi setelah sales tersebut menjelaskan kegunaan kompor tersebut dengan harga yang murah...

Maka, pada tahapan yang kedua, Ibu tersebut mulai sedikit tertarik untuk membeli kompor tersebut, tetapi masih ragu-ragu...

Dan pada tahapan yang ketiga, Ibu tersebut mulai bertanya-tanya tentang kompor tersebut, berapa harganya, bagaimana aftersalesnya, bagaimana perawatannya, dan segudang pertanyaan lainnya..

Setelah informasi yang diperlukan di dapatkan oleh Ibu tersebut, mulailah timbul niat untuk membeli kompor tersebut..
Sampai pada akhirnya, Ibu tersebut membeli kompor tersebut dan memanfaatkannya dalam kegiatan memasakan sehari-hari...

Ilustrasi di atas bisa kita gunakan juga untuk pendekatan dalam memahami hubungan antara informasi / ilmu yang mempengaruhi hati dan melahirkan niat sampai terbentuklah satu perbuatan (amal).

Melalui pendekatan dari ilustrasi di atas, dalam konteks ibadah, seseorang sebaiknya harus mengetahui (memiliki informasi / ilmu) yang cukup agar tergerak hatinya dan melahirkan niat untuk melakukan amal kebaikan. Jika ilmu yang ia miliki kurang, maka ibadah dapat dipastikan akan menjadi satu beban yang memberatkan dirinya. Tetapi, jika ilmu yang ia miliki cukup, maka ibadah merupakan satu kebutuhan bagi dirinya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan melalui hadits Rasulullah ; “ Sesungguhnya amal (perbuatan) itu bergantung dari niatnya....”. Yang juga semakna dengan ungkapan ulama bahwa ‘amal  (perbuatan) tanpa ilmu sesat, dan ilmu tanpa amal lumpuh”. Jadi bisa kita simpulkan, bahwa , ilmu sangat mempengaruhi hati, membentuk niat, dan mempengaruhi amal (perbuatan) seseorang dalam segala aspek kehidupannya.

Ibadah sesungguhnya merupakan satu kebutuhan bagi manusia, Al Quran menyatakan hal ini di banyak sekali ayat ayat-nya.  Salah satunya bentuk ibadah adalah shalat. Hanya melalui informasi yang cukup (ilmu) yang dapat merubah paradigma kita tentang shalat. Dari shalat merupakan satu kewajiban, menjadi shalat merupakan satu kebutuhan.  Satu kebutuhan sudah pasti wajib di penuhi, tetapi satu kewajiban belum tentu kita membutuhkannya. Terkadang, jika kita tidak merasa membutuhkan, maka kewajiban untuk memenuhinya pun boleh jadi sering di lalaikan. Maka, untuk tetap menjaga hati dan niat dalam beribadah, yang perlu kita lakukan adalah menambah informasi (ilmu) yang cukup agar dapat merubah paradigma kita tentang ibadah itu sendiri.

Hal yang kedua adalah istiqomah atau kontinuitas dalam beribadah...

Mari kita kembali pada ilustrasi seorang ibu dan sales yang menawarkan kompor.

Ternyata, setelah timbul niat untuk membeli kompor tersebut, harganya cukup mahal, dan sang ibu tersebut hanya bisa membeli kompor tersebut dengan pembayaran angsuran. Katakanlah, harga kompor tersebut Rp. 500.000, dan si ibu harus membayar angsuran sebesar Rp. 50.000 setiap bulannya.

Karena niat yang teguh untuk mendapatkan kompor tersebut, maka Ibu tadi memberikan komitmennya untuk membeli kompor tersebut dengan pembayaran angsuran sebesar Rp. 50.000 setiap bulannya, selama 10 bulan.

Ilustrasi ini bisa kita gunakan sebagi pendekatan untuk memahami istiqomah dalam konteks ibadah. Salah satu makna dari Istiqomah adalah melakukan kebaikan secara terus-menerus (berkesinambungan / konsisten). Kebaikan yang dilakukan oleh manusia terus menerus disebabkan karena manusia juga membutuhkan kebaikan terus menerus selama hidupnya di dunia. Dan yang lebih besar lagi adalah mendapatkan kebaikan yang ia lakukan di dunia secara terus menerus itu untuk kehidupan di akhirat.

Surga adalah tempat yang di idamkan oleh setiap manusia, tempat kembali yang penuh dengan kenikmatan, keindahan yang belum pernah manusia rasakan.  Ini adalah satu pencapaian besar yang perlu upaya dan pengorbanan. Dan untuk melakukan hal itu, tiada kata lain selain istiqomah.

Jika disimpulkan, maka untuk menjaga hati dan niat dalam istiqomah dalam beribadah adalah ;

1. Perbanyaklah ilmu melalui majelis ta’lim, majallis ilal alim, dll. Karena ilmu akan membentuk keyakinan, dan keyakinan akan mendorong amal. Niat termasuk dalam amal yang berasal dari hati. Dan pada akhirnya, hanya dengan ilmu, ibadah merupakan satu kebutuhan, dan bukan merupakan kewajiban yang membebani diri kita.

2. Dalam konteks perjalanan manusia, surga adalah tempat kembali bagi mereka yang mendapatkan ridho Allah. Dan ini merupakan satu hal yang besar, yang tidak bisa kita dapatkan kecuali dengan istiqomah, mendapatkan kebaikan terus menerus adalah satu hal yang kita inginkan, dengan demikian, lakukanlah kebaikan secara terus menerus.

Segala kebaikan datangnya dari Allah, segala kekhilafan datangnya dari penulis, mohon di maafkan. Wallahu ‘alam.